Reciprocal Teaching
Reciprocal teaching
(pengajaran terbalik) pertama kali dikemukakan oleh Annemarie Palinscar
dari Universitas Michigan dan Ann Brown dari Universitas Illionis, USA
pada tahun 1984.[1] Pengajaran terbalik (reciprocal teaching) merupakan satu pendekatan terhadap pengajaran siswa akan strategi-strategi belajar. Menurut Nur dan Wikandari bahwa “Reciprocal Teaching
adalah pendekatan konstruktivis yang berdasar pada prinsip-prinsip
pembuatan/pengajuan pertanyaan, dimana keterampilan-keterampilan
metakognitif diajarkan melalui pengajaran langsung dan pemodelan oleh
guru untuk memperbaiki kinerja membaca siswa yang pemahamannya rendah”.[2]
Soepraptojielwongsolo mengemukakan bahwa “Reciprocal Teaching
adalah strategi belajar melalui kegiatan mengajarkan teman. Pada
strategi ini siswa berperan sebagai “guru” menggantikan peran guru untuk
mengajarkan teman-temannya. Sementara itu, guru berperan sebagai model
yang memberi contoh, fasilitator yang memberikan kemudahan dan
pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding adalah
bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada orang yang
belum tahu atau tidak tahu. Dengan pengajaran terbalik, guru mengajarkan
siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan menciptakan
pengalaman belajar, melalui pemodelan perilaku tertentu kemudian
membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka
sendiri dengan pemberian semangat, dukungan dan satu sistem scaffolding.[3]
Sedangkan menurut Palincsar dan Brown, bahwa:
“Strategi reciprocal teaching adalah
pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat
pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran,
dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca pada
siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah
prosedur pengajaran atau pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan
kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu
siswa memahami bacaan dengan baik Dengan menggunakan pendekatan reciprocal teaching siswa
diajarkan empat strategi pemahaman dan pengaturan diri spesifik, yaitu
merangkum bacaan, mengajukan pertanyaan, mengklarifikasi/ menjelaskan
kembali, dan memprediksi materi lanjutan. Untuk mempelajari
strategi-strategi tersebut guru dan siswa membaca bahan pelajaran yang
ditugaskan di dalam kelompok kecil, guru memodelkan empat keterampilan
tersebut di atas”.[4]
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Yamin bahwa, “mengajar menurut kaum
konstruktivistik bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru kepada
siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun
sendiri pengetahuannya”.[5]Demikian
juga yang dikemukakan Wina Sanjaya bahwa: “konstruktivistik adalah
proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman”.[6]
Sejalan dengan itu, Asri Budiningsih menyatakan bahwa,
“Teori
belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat
menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar
belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksikan
pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal”.[7]
Teori
konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi
sesuai. Agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan
pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala
sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Guru
tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan
membentu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk
lebih memahami jalan fikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.
Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah
yang sama atau sesuai dengan kemauannya.
Menurut Piaget “mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada”.[8]
Proses Asimilasi terjadi ketika seseorang menggunakan skema yang mereka
miliki untuk memahami dunianya, sedangkan proses akomodasi terjadi
ketika seseorang harus merubah skema yang ada untuk merespon skema yang
ada untuk merespon situasi baru.
Riyanto mengemukakan tetang tujuan konstruktivisme, yakni:
“ada
beberapa tujuan yang ingin diwujudkan, antara lain: 1) memotivasi siswa
bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; 2) mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri
jawabannya; 3) membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau
pemahaman konsep secara lengkap; 4) mengembangkan kemampuan siswa untuk
menjadi pemikir yang mandiri”.[9]
Sejalan dengan itu, teori ini dapat menigkatkan pemahaman matematika siswa, sebagaimana dinyatakan oleh Jhon A. Van De Wale, bahwa:
“Teori yang paling luas diterima, yang dikenal dengan teori konstruktivisme,
menyarankan bahwa anak-anak harus aktif dalam mengembangkan
pemahamannya. Teori konstruktivisme memberi kita wawasan tentang
bagaimana anak-anak belajar matematika dan membimbing kita untuk
menggunakan strategi pengajaran yang dimulai dengan memperhatikan
kondisi anak-anak bukannya memperhatikan kita sendiri”.[10]
Menurut
teori ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru
dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri.
Trianto mengemukakan, bahwa:
“Prosedur
pengajaran terbalik dilakukan pertama-tama dengan guru menugaskan siswa
membaca bacaan dalam kelompok-kelompok kecil, kemudian guru memodelkan
empat keterampilan (mengajukan pertanyaan, merangkum bacaan,
mengklarifikasi, dan meramalkan apa yang ditulis pada bagian bacaan
berikutnya). Selanjutnya guru menunjuk seorang siswa untuk menggantikan
perannya sebagai guru dan bertindak sebagai pemimpin diskusi dalam
kelompok tesebut, dan guru beralih peran dalam kelompok tersebut sebagai
motivator, mediator, pelatih, dan memberi dukungan, umpan balik serta
semangat bagi siswa.”[11]
Berikut penjelasan dari empat keterampilan tersebut, yaitu:
a. Bertanya
Strategi ini digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi sejauhmana pemahaman pembaca terhadap bahan bacaan. Pembaca dalam hal ini siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada guru dan dirinya sendiri.
Kebaikan dari tahap ini adalah siswa dapat menentukan hal-hal yang
ingin diketahui, menumbuhkan minat , sekaligus berusaha memahami apa
yang sedang dipelajari dan dibaca. Tahap ini juga dapat memperkuat daya
analisis siswa. Dengan mempergunakan beberapa sumber/buku, siswa akan
terbiasa membandingkan berbagai informasi dari sumber yang berbeda-beda.
b. Merangkum
Untuk tahap ini, tentu sudah jelas sekali yang paling sederhana adalah meminta siswa untuk membuat ikhtisar dari teks bacaan yang telah dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri. Dalam membuat rangkuman dibutuhkan kemampuan untuk dapat membedakan hal-hal yang penting dan hal-hal yang tidak penting.
c. Klarifikasi/ Menjelaskan
Dalam suatu aktivitas membaca mungkin saja
seorang siswa menganggap pengucapan kata yang benar adalah hal yang
terpenting walaupun mereka tidak memahami makna dari kata-kata yang
diucapkan tersebut. Siswa diminta untuk mencerna makna dari kata-kata
atau kalimat-kalimat yang sulit dipahami atau yang belum dikenal, apakah
mereka memaknai maksud dari suatu paragraf. Setelah dianggap pemahaman
siswa cukup, guru lalu menunjukkan seorang siswa menjadi “guru” untuk
mengklarifikasi/menjelaskan kembali hasil pemahamannya mengenai materi
yang telah dibacanya di depan kelas.
d. Membuat Prediksi
Pada
tahap ini pembaca diajak untuk melibatkan pengetahuan yang sudah
diperolehnya dahulu untuk digabungkan dengan informasi yang diperoleh
dari teks yang dibaca untuk kemudian digunakan dalam mengimajinasikan
kemungkinan yang akan terjadi berdasar atas gabungan informasi yang
sudah dimilikinya.
Prediksi
yang dibuat dapat berupa sebuah hipotesis atau gagasan aplikatif.
Pembuktian prediksi tidak harus dilakukan pada saat itu namun bisa saja
pada kesempatan lain. Hal ini akan memacu siswa untuk mencari jawaban
atas kebenaran prediksinya. Dengan demikian tahap ini akan membiasakan
siswa meningkatkan rasa ingin tahunya.
Tujuan dari Reciprocal Teaching
adalah membantu siswa dengan atau tanpa kehadiran guru, lebih aktif
dalam memahami tulisan. Strategi ini dipilih tidak hanya untuk memahami
bacaan tetapi juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar
memperhatikan pembelajaran dan pemikiran mereka sendiri. Struktur
dialog dan interaksi anggota kelompok menghendaki partisipasi seluruh
siswa dan memelihara hubungan baru di antara siswa dengan perbedaan
kemampuan.
Pembelajaran Reciprocal Tecahing
atau pengajaran terbalik terutama dikembangkan untuk membantu guru
menggunakan dialog-dialog bersifat kerja sama untuk mengajarkan
pemahaman-pemahaman bacaan-bacaan secara mandiri di kelas.
Kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran Reciprocal Teaching mengarahkan
guru untuk mengawasi siswa bekerja secara pribadi maupun kelompok dalam
mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan sebagai bahan acuan
dalam belajar. Dalam hal ini guru juga berusaha untuk membangkitkan
motivasi bagi siswa yang kurang mampu dalam mengakses informasi tentang materi yang akan dipelajari.
Selain itu, menurut Ruijter :
“Dalam proses pembelajaran Reciprocal Teaching guru juga bertugas
antara lain: (a) memberi perhatian pada keaktifan kelompok selama
pelakasanaan kegiatan diskusi; (b) memilah batasan tugas yang akan
dipecahkan oleh siswa menyediakan bahan-bahan pelengkap untuk
membangkitkan motivasi belajar siswa; (c) memberi petunujuk-petunjuk
kepada siswa dalam memecahkan masalah; (d) memeriksa hasil diagnosa
(prediksi) yang disusun oleh siswa; (e) membantu siswa menyimpulkan
hasil diagnosa yang diperolehnya”.[12]
[1] Rusmin Sianipar, Penerapan
Pendekatan Reciprocal Teachig untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir
Kreatif Siswa pada Pokok Bahasan Lingkaran di Kelas XI SMA Negeri 1
Kualuh Selatan T.P. 2009/2010, (Medan: Perpustakaan UNIMED 2010), h. 9, t.d.
[2] Trianto, op.cit., h. 173
[3] Henny, op.cit., h.13
[4] Devi Ramadhani Srg, Penerapan
Model Reciprocal Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif
Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 7 Binjai T.A. 2009/2010 pada
Pokok Bahasan Kubus dan Balok, skripsi Sarjana Pendidikan, (Medan: Perpustakaan UNIMED 2010), h. 16, t.d.
[5]Yamin, op.cit, h. 3
[6] Sanjaya, op.cit., h. 264
[7] C. Asri Budininsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 61
[8] Sanjaya, op.cit., h. 124
[9] Riyanto, op.cit., h. 147
[10] Van De Wale, op.cit., h. 23
[11] Trianto, op.cit., h. 173
[12] Ramadhani , op.cit., h. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar