1.
Pengertian Belajar
Belajar merupakan proses orang memperoleh kecakapan, keterampilan,
dan sikap. Belajar dimulai dari masa kecil sampai akhir hayat seseorang.
Sebagaimana Rasulullaah SAW., menyatakan dalam salah satu hadistnya bahwa
manusia harus belajar sejak dari ayunan hingga liang lahat. Dalam keseluruhan
proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling
pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak
bergantung kepada bagaimana proses belajar
yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu
proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dari interaksi dari
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefenisikan sebagai berikut: “Belajar
ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.[1]
Sejalan dengan pendapat tersebut Winkel menyatakan bahwa, “belajar
adalah suatu aktivitas mental/ psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman,
keterampilan, dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan
dan berbekas”.[2]
Gage mendefenisikan belajar sebagai suatu proses di mana organisme berubah
perilakunya diakibatkan pengalaman. Demikian juga Harold Spear mendefenisikan
belajar terdiri dari pengamatan, pendengaran, membaca, dan meniru.[3]
Menurut Djamarah dan Zain bahwa, “belajar pada hakikatnya adalah perubahan
yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas
belajar. Walaupun pada kenyataanya tidak semua perubahan termasuk kategori
belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya.”[4] Sedangkan
menurut Syah mengemukakan bahwa, “ belajar pada hakikatnya merupakan proses
kognitif yang mendapat dukungan dari fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor
dalam hal ini meliputi: mendengar, melihat, mengucapkan”.[5]
Demikian juga dengan Sardiman menyatakan bahwa, “belajar itu
sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju perkembangan
pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa,
ranah kognitif, afektif dan psikomotor”.[6]
Adapun ayat Al-Qur’an yang behubungan dengan alat-alat bersifat
psiko-fisik, yaitu dalam surat An-Nahl ayat 78 Allah berfirman:
Artinya: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan af-idah (daya nalar), agar kamu
bersyukur”.[7]
Sedangkan menurut
Hamalik,
“Belajar adalah modifikasi
atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the
modification or strengthening of behavior trhough experiencing). Menurut
pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari
itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan,
melainkan pengubahan kelakuan”.[8]
Berdasarkan pengertian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang
untuk mencapai perubahan tingkah laku yaitu: perubahan dalam pengetahuannya,
kecakapannya, kemampuannya, dan daya kreasinya sebagai hasil pengalamannya
sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menyangkut unsur cipta,
rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam Islam, penekanan terhadap signifikansi fungsi kognitif
(aspek aqliah) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat penting untuk
belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qilun, yatafakkarun, yubshirun,
yasma’un, dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an, merupakan bukti
betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu
pengetahuan.
Allah SWT. mewajibkan orang untuk
belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam
Az-Zumar ayat 9 yang berbunyi:
Artinya: “Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya, hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.[9]
Demikian pentingnya arti daya nalar akal
dalam perspektif ajaran islam, terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para
penghuni neraka karena keengganan dalam menggunakan akal mereka untuk
memikirkan peringatan Allah SWT salah satu diantarany adalah untuk tidak
mempersekutukan Allah SWT. Dalam surat Al-Mulk ayat 10 dikisahkan bahwa mereka
berkata:
Artinya: “Dan mereka
berkata: Sekiranya kami mendengarkan dan memikirkan (peringatan Tuhan) niscaya
kami tidak termasuk para penghuni neraka yang menyala-nyala”.[10]
Dan
dengan berilmu (menggunakan akal atau belajar), manusia dapat kembali ke
fitrahnya yakni perjanjian yang telah diikrarkan ketika masih di dalam sulbi
nabi Adam as. Isi perjanjian tersebut di dalam surat Al-A’raf ayat 172 yang
berbunyi:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Selanjutnya dengan belajar Allah SWT.
Akan meninggikan derajat manusia sebgaimana di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11yang
berbunyi:
Artinya: “...niscaya
Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang beriman dan berilmu”.[11]
Ayat-ayat di atas mejelaskan bahwa manusia dilahirkan tidak
memiliki pengetahuan apa-apa, oleh karena itu Allah SWT. memberikan
pendengaran, penglihatan, dan daya nalar. Agar manusia dapat berfikir atau
belajar memperoleh pengetahuan. Salah satu diantaranya yaitu memikirkan
peringatan Allah SWT. agar tidak termasuk penghuni neraka, dan manusia dapat
kembali ke fitrah.
Kemudian belajar memiliki peranan penting dalam mempertahankan
kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang
semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena
belajar. Dan belajar merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman agar
memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan.
[1] Slmeto,
op.cit., h. 2
[2] Riyanto,
Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009), h. 5
[3] Martinis Yamin, Paradigma
Pendidikan Konstruktivistik (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2008), h.122
[4] Djamarah dan Zain, Strategi
Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 38
[5] Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 71
[6] Sardiman A.M., Interaksi & Motovasi Belajar Mengajar
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 21
[7] Syah, op.cit.,
h. 88
[8] Oemar Hamalik, Proses
Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 27
[9] Syah, op.cit.,
h. 86
[10] Syah, op.cit.,
h. 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar