Ah, Cinta…
Saya selalu terpana dengan cinta. Membuat pikiran ini dengan
susah payah membayangkan seorang Abu Bakar yang tiba-tiba berlari kesana kemari,
kadang ke depan, ke samping, lantas tiba-tiba ke belakang rasulullah. Saat itu
mereka sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Di belakang, orang-orang
kafir Quraisy mengejar, bermaksud membunuh Muhammad SAW. Tentu saja sang nabi
terheran-heran. Beliau pun bertanya dan dijawab oleh Abu Bakar, bahwa ketika ia
melihat musuh ada di belakang, maka Abu Bakar berlari ke belakang. Jika musuh
di depan, Abu Bakar lari ke depan, dan seterusnya. Abu
Bakar siap menjadi tameng buat rasulullah. Agar jika ada musuh menyerang, ia lah
yang lebih dulu menerimanya.
Itulah cinta. Sama seperti ketika mereka akhirnya kecapekan dan
menemukan sebuah gua. Abu Bakar melarang Rasul masuk sebelum ia membersihkan
terlebih dulu. Saat membersihkan, Abu Bakar melihat 3 buah lubang. Satu lubang
ia tutup dengan sobekan kain bajunya, lalu yang dua ia tutup dengan ibu jari
kakinya. Rasul pun tidur di pangkuan Abu Bakar. Pada saat itulah, Abu Bakar
merasakan kesakitan yang luar biasa. Ia digigit ular. Namun ia tidak mau
membangunkan Rasul dan terus menahan sakit hingga air matanya menetes. Tetesan
itu menimpa rasul dan terbangunlah beliau. Berkat mukzizat Rasul, sakit itu pun
berhasil disembuhkan. (Sumber, ‘Berkas-berkas Cahaya Kenabian’, Ahmad Muhammad
Assyaf).
Menggapai Cinta Positif
Cinta positif adalah cinta yang frame-nya adalah cinta karena
Allah. Cinta kepada Allah sebagai cinta yang hakiki, sedang cinta kepada selain
Allah dilaksanakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Jika diatas disebutkan
bahwa kata kuncinya adalah ‘kendali hati’, maka jelas, untuk menggapai cinta
positif, hati harus pertama kali ditundukan. Jika hati telah ditundukkan maka
akan bisa kita kendalikan. Jika hati terkendali, yakin deh, seluruh jasad dan
akal kita pun mampu selaras dengan sang panglimanya tersebut.
Bahasa Pena?
Jika cinta adalah energi, maka yang terlahir dari cinta adalah
produktivitas. Pena hanya salah satu dari banyak pilihan, tergantung pada
potensi masing-masing. Saya memilih pena karena profesi saya adalah seorang
penulis. Karena bingkai kecintaan itu adalah cinta kepada Allah, maka saya akan
menjadikan tarian pena saya sebagai ekspresi kecintaan kepada Allah. Serupa tapi
tak sama akan dialami oleh teman-teman yang mahir dibidang lain, memasak, memprogram komputer dan sebagainya. Bukti
cinta itu adalah produktivitas. So, jika kita tidak produktif, berarti tidak ada
energi yang menggerakan, yang ujung-ujungnya, kamu tidak punya cinta. Kasiaaan
deh Luuu.
Ada apa dengan cinta? Jawabnya : ada energi. Muaranya, produktivitas, optimalisasi
potensi. Tentu saja yang kita usahakan adalah cinta positif, sehingga
produktivitas yang tercetak adalah produktivitas yang positif pula.
Solo, 18 November 2002
Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena dan Redaktur Majalah
Pengembangan Pribadi Remaja Muslim KARIMA