AIR
Bersuci dapat
dialakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan air mutlak dan tanah suci.
1.
Air Mutlak
Air mutlak
adalah air yang suci dan mensucikan. Yaitu, air yang masih murni dan belum atau
tidak tercampuri oleh sesuatu (najis). Adapun air itu sendiri terdapat beberapa
macam, di antaranya adalah:
a.
Air laut
Dari Abu
Hurairah ra., ia mencaritakan:
سأل رجلٌ
رسول اللهِ صلّى الله عليه وسلّم فقال يا رسول الله إنّا نركب البحرونحمل معنا
القليل من الماء فإن توضّأْن بهِ عطشنا أفتوضّأ من ماء البحرِ فقال رسول الله صلّى
اللهُ غليه و سلّم هو الطهور ماؤُه الحلُّ ميتتهُ
“Ada seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah. Kami berlayar di laut
dan hanya membawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami pergunakan air tersebut
untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Untuk itu, apakah kami boleh berwudhu
dengan menggunakan air laut? Rasulullah menjawab: Air laut itu suci dan
mensucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal.” (HR.
Al-Khamsah)
Imam At-Tirmidzi mengatakan: “Ini adalah hadits hasan shahih.” Aku
bertanya kepada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengenai hadits ini dan beliau
mengatakan, bahwa ini adalah hadits shahih.
b.
Air hujan,
salju dan embun
Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan Allah
telah menurunkan kepada kalian air hujan dari langit, untuk mensucikan kalian.” (Al-Anfal:11)
Allah Ta’ala
juga berfirman:
“Dan Kami
turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Al-Furqan:
48)
Pendapat
mengenai kesucian air tersebut yang dapat dipergunakan untuk bersuci juga
disandarkan pada hadits dari Abu Hurairah ra. Dimana ia menceritakan:
كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إذا كبّرَ فى الصلاة
سكن هنيهة قبل الفقراء فقلت يا رسول الله بِأبي أنت وأمِّي أرأيت سكوتك بين
التكبير والقراءة ما تقول قال أقول اللّهمّ باعد بيني و بين خطاياي كما باعدتَ بين
المشرقِ والمغربِ اللّهمّ نقّْني من خطاياي كالثوب الأبيض من الدنس اللّهمّ اغسلني
من خطاياي بالماء والثلج والبرد
“Apabila
Rasulullah telah bertakbir di dalam shalatnya, beliau berdiam sejenak. Lalu aku
bertanya: Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apa yang engkau baca tatkala
berdiam diantara takbir dan bacaan Al-Fatihah di dalam shalatmu? Beliau
menjawab: Aku mengucapkan doa : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan
kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau
menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari
kesalahan-kesalahanku sebagaimana kain putih yang dibersihkan kotoran. Ya
Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan es, air dan embun.” (HR. Jama’ah
kecuali At-Tirmidzi)
Demikian halnya dengan air laut, sumber-sumber air, telaga dan sungai.
c.
Air zamzam
Pendapat ini
didasarkan pada hadits dari Ali bin Abi Thalib ra.:
أنّ رسولُ الله صلّى الله عليه و
سلّم دعأ بسجلٍ من ماء زمزم فشربَ منه وتوضّأ
“Bahwa
Rasulullah pernah meminta diambilkan satu wadah air zamzam lalu beliau meminum
sebagian dari air dan berwudhu dengannya.” (HR. Ahmad)
d.
Air yang
berubah karena lama tidak mengalir
Air jenis ini
yang disebabkan oleh tempatnya, atau karena tercampur dengan sesuatu yang
memang tidak bisa dipisahkan dari air itu sendiri, seperti lumut atau daun yang
berada di permukaan air, dalam hal ini para ulama telah bersepakat menyebutnya
sebagai air mutlak.
2.
Debu yang Suci
Yaitu debu suci
yang berada di permukaan tanah, pasir, dinding atau batu. Pendapat ini didasarkan
pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
جعلت لى الأرضُ مسجدًا وطهورًا
“Dijadikan
bumi ini bagiku sebagai masjid, yang berarti suci.” (HR. Ahmad)
Dengan
demikian, tanah atau debu dapat diginakan untuk bersuci atau mensucikan ketika tidak
ditemukan air atau ketika terdapat larangan menggunakan air karena sakit dan
sebagainya. Sebagaimana yang juga difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Kemudian
kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci).” (An-Nisa’:43)
Dan juga
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah
haditsnya:
“Sesungguhnya
tanah itu dapat mensucikan bagi orang Islam, meskipun dia tidak menemukan air
selama sepuluh tahun. Akan tetapi setelah dia menemukan air, maka hendaklah ia
mengusapkan air tersebut ke kulitnya (bersuci dengannya).” (HR.
At-Tirmidzi)
Mengenai status
hadits ini, Imam At-Tirmidzi menghasankannya.
Di samping itu
juga didasarka pada keputusan Rasulullah pada saat memerintahkan ‘Amr bin
Al-‘Ash untuk bertayamum sebagai ganti dari mandi janabah pada malam yang
sangat dingin, di mana ia mengkhawatirkan akan kondisi dirinya apabila mandi
dengan air yang dingin tersebut, (diriwayatkan Imam Al-Bukhari) sebagai
komentar.
3.
Air yang
Tercampur oleh Sesuatu yang Suci
Sesuatu yang
suci misalnya sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya yang memang secara
zat ia terpisah dari air, maka hukum air ini adalah suci selama masih terjamin
kemutlakannya. Jika telah keluar dari kemutlakannya, di mana tidak dapat lagi
disebut sebagai air mutlak, makaair tersebut tetap suci aka tetapi tidak dapat
mensucikan. Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Ummu Athiyyah yang
menceritakan:
دخل علينا
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم حين توَفّيتْ إبنته "زينب" فقال اغسلنها
ثلاثا أو خمسًا أو أكثر من ذلك إن رأيتنّ ذلك بماءٍ وسدرٍ وجعلن في كافورّا فإذا
فرغتنّ فآذنّني قالت فلمّا فرغنا أذنّاه فأطعنا حقوهُ فقال أشعرنها إيّاه
“Rasulullah
masuk ke rumah kami ketika putrinya, Zainab, meninggal dunia. Lalu, beliau
berkata: Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih, jika menurutmu lebih
dari itu adalah lebih baik, dengan air serta daun bidara. Pada basuhan yang
terakhir campurkan dengan kapur barus atau sedikit darin kapur barus. Jika
telah selesai, maka beritahukan kepadaku. Setelah selesai memandikan jenazah
Zainab, kami memberitahukan Rasulullah, kemudian beliau memberikan kai kepada
kami seraya berkata: Pakaikanlah kain ini kepada tubuhnya.” (HR. Jama’ah)
Seorang mayat
tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang dapat mensucikan orang yang masih
hidup. Menurut riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Khuzaimah dari Ummu Hani, bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi dengan Maimunah dalam satu bejana,
semacam ember, yang di dalamnya terdapat bekas tepung.
Keterangan yang
terdapat pada kedua hadits tersebut menyatakan, bahwa air yang ada secara tidak
sengaja mengandung campuran. Namun, campuran tersebut tidak sampai
menghilangkan status atau sebutan sebagai air mutlak.
4.
Air dalam
Jumlah yang Banyak Apabila Berubah Warnanya karena Tidak Mengalir.
Menurut
kesepakatan para ulama, jika air berubah karena tersimpan dan terdiam di suatu
tempat ( yang tertutup, ed), maka ia tetap suci adanya. Adapun air pada sungai
yang mengalir, jika diketahui airnya berubah karena tercampur oleh benda najis,
maka air sungai itu menjadi najis. Sedangkan apabila tercampur oleh sesuatu
yang suci dan sesuatu yang najis, yang dapat merubahnya, tetapi masih diragukan
perubahannya, maka tidak dapat disebut najis hanya karena bersandar pada
keraguan semata.
Sebagian besar
dari sungai-sungai yang besar tidak akan berubah adanya karena aliran-aliran
(yang mengandung benda najis) yang mengalir padanya. Akan tetapi, apabila
terlihat jelas perubanhannya karena tercampur oleh benda najis, maka air sungai
itu menjadi najis. Apabila air sungai itu mengalami perubahan bukan karena
sesuatu yang najis, maka mengenai kesuciannya terdapat dua pendapat yang
masyhur dan sama-sama memiliki dasar pijakan yang dibenarkan. Wallahu A’lam.
5.
Air Musta’mal
Yang dimaksud
dengan air musta’mal di sini adalah air yang sudah terpakai atau terjatuh dari
anggota badan orang yang berwudhu. Untuk itu hendaklah wanita Muslimah
mengetahui bahwa air seperti ini tetap suci keberadaannya sebagaimana air
mutlak dan tidak ada satu dalil pun yang mengeluarkan dari kesuciannya
(menyatakan tidak suci).
Mengenai sifat
wudhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagaimana diriwayatkan dari
Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwa ia menceritakan: “ Rasulullah pernah
membasuh kepala dengan sisa air wudhu yang masih berada di kedua tangannaya.”
(HR. Ahmad). Sedangkan menurut riwayat Abu Daud dinyatakan dengan menggunakan
lafazh:
أنّ رسول
الله صلّى الله عليه و سلّم مسحَ رأْسهُ من فضل ماء كان بيدهِ
“Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallah membasuh kepala dengan sisa air yang
terdapat pada tangannya.” (HR. Abu Daud)
Dari Abu
Hurairah ra. ia berkata:
أنّ انّبيّ
صلّى الله عليه و سلّم لقيه في بعضِ طريقِ المدينةِ وهو جنبٌ فانخنستُ منه فذهبَ
فاغتسلَ ثمّ جاء فقال أين كنت يا أبا هريرهةَ قال كنتُ جنبًا فكرهتُ أن أجالسكَ
وأنا على غيرِ طهارةٍ فقال سبحان الله إنّ المسلمَ لا ينجُسُ
“Bahwa Nabi
Shallallahi ‘Alaihi wa Sallam pernah bertemu dengannya di suatu jalan di
Madinah, sedang ia tengah berada dalam keadaan junub. Lalu ia menyelinap dari
pandangan beliau untuk pergi dan mandi. Setelah itu, ia datang menghadapa
Rasulullah dan beliau pun bertanya: Kemana kamu tadi, wahai Abu Hurairah? Ia
menjawab: Sesungguhnya aku tadi sedang junub, karena aku tidak suka duduk
bersamamu dalam keadaan tidak suci. Maka beliau pun bersabda: Mahasuci Allah,
sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Jama’ah)
Analogi dari
pengertian hadits di atas adalah, bahwa seorang wanita Muslimah itu tidaklah
najis ketika dalam keadaan junub. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk
menjadikan air hilang kesuciannya hanya karena persentuhannya dengan tubuh
manusia. Sebab, pada dasarnya hal itumerupakan pertemuan antara sesuatu yang
suci (tubuh manusia) dengan sesuatu yang suci lainnya (air), sehingga tidak
memberikan pengaruh sama sekali.
Ibnu Mundzir
berkata: Diriwayatkan dari Ali, dair Ibnu Umar, dari Abu Umamah, dari Atha’,
Hasan dan dari Makhul Al-Nakha’i, di mana mereka berpendapat mengenai orang
yang lupa membasuh kepala, lalu mendapatkan sisa air pada jenggotnya, maka
cukup baginya membasuh kepala dengan sisa air yang ada pada jenggot tersebut.
Hal itu menunjukkan bahwa mereka berpendapat: Air musta’mal (yang sudah
terpakai itu) dapat mensucikan. Ini juga merupakan pendapat yang dikemukakan
dalam salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Syafi’i, di mana pendapat
tersebut dinisbatkan Ibnu Hazm kepada Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Tsaur serta
seluruh penganut dari Dawud Adh-Dhahiri.
Dari Hudzaifah
bin Al-Yaman ia berkata, bahwa Rasulullah pernah bertemu dengannya, sedang ia
dalam keadaan junub. Lalu ia menghindar dari beliau dan pergi mandi. Kemudian
ia datang kembali seraya mengucapkan: Aku tadi tengah berada dalam keadaan
junub, untuk itu aku menghindar, Rasulullah kemudian menjawab dengan bersabda: “Sesungguhnya
seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Jama’ah kecuali Imama Al-Bhukhari
dan Imam At-Tirmidzi)
Menurut jumhul
ulama, anggota badan seorang Muslim itu senantiasa dalam keadaan suci, karena
kebiasaannya menghindari hal-hal yang bersifat najis. Berbeda dengan orang
musyrik, karena orang musyrik tidak berusaha untuk menghindari najis. Pendapat
tersebut didasarkan pada firman Allah Subhana wa Ta’ala:
“Sesungguhnya
orang-orang musyrik itu najis.” (At-Taubah: 28)
Berkenaan dengan
ayat tersebut, maka yang dimaksudkan, bahwa orang-orang musyrik itu najis dan
kotor pada akidah mereka. Yang menjadi hujjah (argumentasi) pada ahli terhadap
kebenaran tafsiran tersebut, bahwa Allah Ta’ala membolehkan menikahi
wanita-wanita ahlul kitab (pada masa itu). Karena, sebagaimana diketahui, bahwa
keringat wanita-wanita ahlul kitab tersebut tidak akan pernah lepas dari badan
laki-laki Muslim yang menikahinya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban
memandikan wanita ahlul kitab melainkan seperti apa yang diwajibkan di dalam
memandikan wanita Muslimah.
6.
Air yang
Terkena Najis
Mengenai air
yang terkena najis ini ada dua macam keadaan, yaitu pertama: Jika najis yang
mengenai air itu merubah rasa, warna, atau baunya. Menurut kesepakatan para
ulama, air yang dalam kondisi seperti itu tidak boleh dipergunakan untuk
bersuci. Kedua: Jika air masih tetap dalam keadaan suci dan mensucikan, dimana
salah satu dari ketiga sifatnya (rasa, warna, dan bau) itu tidak ada yang
berubah. Pada keadaan seperti ini, air tetap suci dan mensucikan. Dalil yang
menjadi landasan adalah hadits dari Abu Hurairah ra. di mana ia menceritakan :
قام أعْربيّ
فبال فى المسجدِ فتناولهُ النّاسُ فقال لهم النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم دعوهُ
وهريقُوا على بَوْلِهِ سجْدًا من ماءٍ أوذنوبًا من ماءٍ فإنّما بُعِثْتُمْ
مسيِّرِينَ ولمْ تبعثُوا معسِّرِينَ
“Ada seorang
Badui yang kencing di masjid. Lalu para sahabat berdiri menghampiri Badui
tersebut untuk memarahinya. Akan tetapi, Nabi melarang para sahabat dengan
berkata: Biarkanlah ia, dan siramlah air kencingnya itu dengan satu ember atau
satu geribah. Karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan bukan
untuk mempersulit.” (HR. Muslim)
Juga hadits
dari Abu Sa’id Al- Khudri ra. dia berkata:
قيل يا رسولَ الله أنتوضّأُ من بئرِ بضاعةَ؟ فقال رسول
الله إنّ الماءَ طهُورٌ لا يُنجِّسهُ شيئٌ
“Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah kita akan berwudhu
dengan air sumur Bidha’ah (salah satu sumur yang ada di kota Madinah yang biasa
digunakan untuk membuang kain bekas pembalut wanita, daging anjing serta
kotoran-kotoran lain, ed)? Beliau menjawab: Air itu suci dan mensucikan, tidak
dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, Asy-Syafi’i, Abu Dawud,
An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi)
Mengenai hadits
ini, Imam At-Tirmidzi mengatakan berstatus hasan. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan, bahwa hadits
mengenai sumur Bidha’ah ini berstatus shahih dan dishahikan oleh Yahya bin
Ma’in serta Abu Muhammad bin Hazm.
7.
Air yang
Jumlahnya Mencapai Dua Kullah
Ada hadits dari
Abdullah bin Umar ra., bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
bersabda:
إذا كان الماءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلِ الخَبَث
“Apabila jumlah
air itumencapai jumlah dua kullah[1],
maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis).” (HR.
Al-Kamsah)
Sanad dan matan hadits ini berstatus mudhtharib (kontradiksi,
diragukan). Dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya, Ibnu Abdil Barr
mengatakan: “Yang menjadi landasan dari pendapat Imam Asy-Syafi’i mengenai
hadits dua kullah ini merupakan pendapat yang lemah dari sisi teori dan tidak
permanen dari sisi atsar. Kemudian Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah telah
menetapkan air yang tidak menjadi najis karena terkena atau tercampur benda najis,
yaitu selama tidak berubah sifatnya sebanyak dua kullah atau lima geribah.”
Sementara para sahabat beliau menafsirkannya dengan lima ratus rithl (1
rithl= 2,564 gram).
Sedangkan penganut madzhab Hanafi menetapkan dua kullah itu sama dengan
tempat air yang besar yang satu sisinya tidak
8. Air yang Tidak Diketahui Kedudukannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar