Halaman

Rabu, 15 Januari 2025

AIR (Buku Fiqih Wanita oleha Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah)

 

  AIR

 

Bersuci dapat dialakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan air mutlak dan tanah suci.

1.      Air Mutlak

Air mutlak adalah air yang suci dan mensucikan. Yaitu, air yang masih murni dan belum atau tidak tercampuri oleh sesuatu (najis). Adapun air itu sendiri terdapat beberapa macam, di antaranya adalah:

a.      Air laut

Dari Abu Hurairah ra., ia mencaritakan:

سأل رجلٌ رسول اللهِ صلّى الله عليه وسلّم فقال يا رسول الله إنّا نركب البحرونحمل معنا القليل من الماء فإن توضّأْن بهِ عطشنا أفتوضّأ من ماء البحرِ فقال رسول الله صلّى اللهُ غليه و سلّم هو الطهور ماؤُه الحلُّ ميتتهُ

 

“Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah. Kami berlayar di laut dan hanya membawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami pergunakan air tersebut untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Untuk itu, apakah kami boleh berwudhu dengan menggunakan air laut? Rasulullah menjawab: Air laut itu suci dan mensucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal.” (HR. Al-Khamsah)

Imam At-Tirmidzi mengatakan: “Ini adalah hadits hasan shahih.” Aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengenai hadits ini dan beliau mengatakan, bahwa ini adalah hadits shahih.

 

b.      Air hujan, salju dan embun

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Allah telah menurunkan kepada kalian air hujan dari langit, untuk mensucikan kalian.” (Al-Anfal:11)

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Al-Furqan: 48)

Pendapat mengenai kesucian air tersebut yang dapat dipergunakan untuk bersuci juga disandarkan pada hadits dari Abu Hurairah ra. Dimana ia menceritakan:

كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إذا كبّرَ فى الصلاة سكن هنيهة قبل الفقراء فقلت يا رسول الله بِأبي أنت وأمِّي أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة ما تقول قال أقول اللّهمّ باعد بيني و بين خطاياي كما باعدتَ بين المشرقِ والمغربِ اللّهمّ نقّْني من خطاياي كالثوب الأبيض من الدنس اللّهمّ اغسلني من خطاياي بالماء والثلج والبرد

“Apabila Rasulullah telah bertakbir di dalam shalatnya, beliau berdiam sejenak. Lalu aku bertanya: Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apa yang engkau baca tatkala berdiam diantara takbir dan bacaan Al-Fatihah di dalam shalatmu? Beliau menjawab: Aku mengucapkan doa : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau  menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana kain putih yang dibersihkan kotoran. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan es, air dan embun.” (HR. Jama’ah kecuali At-Tirmidzi)

Demikian halnya dengan air laut, sumber-sumber air, telaga dan sungai.

 

c.       Air zamzam

Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Ali bin Abi Thalib ra.:

أنّ رسولُ الله صلّى الله عليه و سلّم دعأ بسجلٍ من ماء زمزم فشربَ منه وتوضّأ

“Bahwa Rasulullah pernah meminta diambilkan satu wadah air zamzam lalu beliau meminum sebagian dari air dan berwudhu dengannya.” (HR. Ahmad)

d.      Air yang berubah karena lama tidak mengalir

Air jenis ini yang disebabkan oleh tempatnya, atau karena tercampur dengan sesuatu yang memang tidak bisa dipisahkan dari air itu sendiri, seperti lumut atau daun yang berada di permukaan air, dalam hal ini para ulama telah bersepakat menyebutnya sebagai air mutlak.

 

2.      Debu yang Suci

Yaitu debu suci yang berada di permukaan tanah, pasir, dinding atau batu. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

جعلت لى الأرضُ مسجدًا وطهورًا

“Dijadikan bumi ini bagiku sebagai masjid, yang berarti suci.” (HR. Ahmad)

Dengan demikian, tanah atau debu dapat diginakan untuk bersuci atau mensucikan ketika tidak ditemukan air atau ketika terdapat larangan menggunakan air karena sakit dan sebagainya. Sebagaimana yang juga difirmankan oleh Allah Ta’ala:

“Kemudian kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci).” (An-Nisa’:43)

Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah haditsnya:

“Sesungguhnya tanah itu dapat mensucikan bagi orang Islam, meskipun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Akan tetapi setelah dia menemukan air, maka hendaklah ia mengusapkan air tersebut ke kulitnya (bersuci dengannya).” (HR. At-Tirmidzi)

Mengenai status hadits ini, Imam At-Tirmidzi menghasankannya.

Di samping itu juga didasarka pada keputusan Rasulullah pada saat memerintahkan ‘Amr bin Al-‘Ash untuk bertayamum sebagai ganti dari mandi janabah pada malam yang sangat dingin, di mana ia mengkhawatirkan akan kondisi dirinya apabila mandi dengan air yang dingin tersebut, (diriwayatkan Imam Al-Bukhari) sebagai komentar.

 

3.      Air yang Tercampur oleh Sesuatu yang Suci

Sesuatu yang suci misalnya sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya yang memang secara zat ia terpisah dari air, maka hukum air ini adalah suci selama masih terjamin kemutlakannya. Jika telah keluar dari kemutlakannya, di mana tidak dapat lagi disebut sebagai air mutlak, makaair tersebut tetap suci aka tetapi tidak dapat mensucikan. Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Ummu Athiyyah yang menceritakan:

دخل علينا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم حين توَفّيتْ إبنته "زينب" فقال اغسلنها ثلاثا أو خمسًا أو أكثر من ذلك إن رأيتنّ ذلك بماءٍ وسدرٍ وجعلن في كافورّا فإذا فرغتنّ فآذنّني قالت فلمّا فرغنا أذنّاه فأطعنا حقوهُ فقال أشعرنها إيّاه

“Rasulullah masuk ke rumah kami ketika putrinya, Zainab, meninggal dunia. Lalu, beliau berkata: Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih, jika menurutmu lebih dari itu adalah lebih baik, dengan air serta daun bidara. Pada basuhan yang terakhir campurkan dengan kapur barus atau sedikit darin kapur barus. Jika telah selesai, maka beritahukan kepadaku. Setelah selesai memandikan jenazah Zainab, kami memberitahukan Rasulullah, kemudian beliau memberikan kai kepada kami seraya berkata: Pakaikanlah kain ini kepada tubuhnya.” (HR. Jama’ah)

Seorang mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang dapat mensucikan orang yang masih hidup. Menurut riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Khuzaimah dari Ummu Hani, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi dengan Maimunah dalam satu bejana, semacam ember, yang di dalamnya terdapat bekas tepung.

Keterangan yang terdapat pada kedua hadits tersebut menyatakan, bahwa air yang ada secara tidak sengaja mengandung campuran. Namun, campuran tersebut tidak sampai menghilangkan status atau sebutan sebagai air mutlak.

 

4.      Air dalam Jumlah yang Banyak Apabila Berubah Warnanya karena Tidak Mengalir.

Menurut kesepakatan para ulama, jika air berubah karena tersimpan dan terdiam di suatu tempat ( yang tertutup, ed), maka ia tetap suci adanya. Adapun air pada sungai yang mengalir, jika diketahui airnya berubah karena tercampur oleh benda najis, maka air sungai itu menjadi najis. Sedangkan apabila tercampur oleh sesuatu yang suci dan sesuatu yang najis, yang dapat merubahnya, tetapi masih diragukan perubahannya, maka tidak dapat disebut najis hanya karena bersandar pada keraguan semata.

Sebagian besar dari sungai-sungai yang besar tidak akan berubah adanya karena aliran-aliran (yang mengandung benda najis) yang mengalir padanya. Akan tetapi, apabila terlihat jelas perubanhannya karena tercampur oleh benda najis, maka air sungai itu menjadi najis. Apabila air sungai itu mengalami perubahan bukan karena sesuatu yang najis, maka mengenai kesuciannya terdapat dua pendapat yang masyhur dan sama-sama memiliki dasar pijakan yang dibenarkan. Wallahu A’lam.

 

5.      Air Musta’mal

Yang dimaksud dengan air musta’mal di sini adalah air yang sudah terpakai atau terjatuh dari anggota badan orang yang berwudhu. Untuk itu hendaklah wanita Muslimah mengetahui bahwa air seperti ini tetap suci keberadaannya sebagaimana air mutlak dan tidak ada satu dalil pun yang mengeluarkan dari kesuciannya (menyatakan tidak suci).

Mengenai sifat wudhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagaimana diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwa ia menceritakan: “ Rasulullah pernah membasuh kepala dengan sisa air wudhu yang masih berada di kedua tangannaya.” (HR. Ahmad). Sedangkan menurut riwayat Abu Daud dinyatakan dengan menggunakan lafazh:

أنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم مسحَ رأْسهُ من فضل ماء كان بيدهِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallah membasuh kepala dengan sisa air yang terdapat pada tangannya.” (HR. Abu Daud)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

أنّ انّبيّ صلّى الله عليه و سلّم لقيه في بعضِ طريقِ المدينةِ وهو جنبٌ فانخنستُ منه فذهبَ فاغتسلَ ثمّ جاء فقال أين كنت يا أبا هريرهةَ قال كنتُ جنبًا فكرهتُ أن أجالسكَ وأنا على غيرِ طهارةٍ فقال سبحان الله إنّ المسلمَ لا ينجُسُ

“Bahwa Nabi Shallallahi ‘Alaihi wa Sallam pernah bertemu dengannya di suatu jalan di Madinah, sedang ia tengah berada dalam keadaan junub. Lalu ia menyelinap dari pandangan beliau untuk pergi dan mandi. Setelah itu, ia datang menghadapa Rasulullah dan beliau pun bertanya: Kemana kamu tadi, wahai Abu Hurairah? Ia menjawab: Sesungguhnya aku tadi sedang junub, karena aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak suci. Maka beliau pun bersabda: Mahasuci Allah, sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Jama’ah)

Analogi dari pengertian hadits di atas adalah, bahwa seorang wanita Muslimah itu tidaklah najis ketika dalam keadaan junub. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menjadikan air hilang kesuciannya hanya karena persentuhannya dengan tubuh manusia. Sebab, pada dasarnya hal itumerupakan pertemuan antara sesuatu yang suci (tubuh manusia) dengan sesuatu yang suci lainnya (air), sehingga tidak memberikan pengaruh sama sekali.

Ibnu Mundzir berkata: Diriwayatkan dari Ali, dair Ibnu Umar, dari Abu Umamah, dari Atha’, Hasan dan dari Makhul Al-Nakha’i, di mana mereka berpendapat mengenai orang yang lupa membasuh kepala, lalu mendapatkan sisa air pada jenggotnya, maka cukup baginya membasuh kepala dengan sisa air yang ada pada jenggot tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa mereka berpendapat: Air musta’mal (yang sudah terpakai itu) dapat mensucikan. Ini juga merupakan pendapat yang dikemukakan dalam salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Syafi’i, di mana pendapat tersebut dinisbatkan Ibnu Hazm kepada Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Tsaur serta seluruh penganut dari Dawud Adh-Dhahiri.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ia berkata, bahwa Rasulullah pernah bertemu dengannya, sedang ia dalam keadaan junub. Lalu ia menghindar dari beliau dan pergi mandi. Kemudian ia datang kembali seraya mengucapkan: Aku tadi tengah berada dalam keadaan junub, untuk itu aku menghindar, Rasulullah kemudian menjawab dengan bersabda: “Sesungguhnya seorang Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Jama’ah kecuali Imama Al-Bhukhari dan Imam At-Tirmidzi)

Menurut jumhul ulama, anggota badan seorang Muslim itu senantiasa dalam keadaan suci, karena kebiasaannya menghindari hal-hal yang bersifat najis. Berbeda dengan orang musyrik, karena orang musyrik tidak berusaha untuk menghindari najis. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Allah Subhana wa Ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (At-Taubah: 28)

Berkenaan dengan ayat tersebut, maka yang dimaksudkan, bahwa orang-orang musyrik itu najis dan kotor pada akidah mereka. Yang menjadi hujjah (argumentasi) pada ahli terhadap kebenaran tafsiran tersebut, bahwa Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab (pada masa itu). Karena, sebagaimana diketahui, bahwa keringat wanita-wanita ahlul kitab tersebut tidak akan pernah lepas dari badan laki-laki Muslim yang menikahinya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban memandikan wanita ahlul kitab melainkan seperti apa yang diwajibkan di dalam memandikan wanita Muslimah.

 

6.      Air yang Terkena Najis

Mengenai air yang terkena najis ini ada dua macam keadaan, yaitu pertama: Jika najis yang mengenai air itu merubah rasa, warna, atau baunya. Menurut kesepakatan para ulama, air yang dalam kondisi seperti itu tidak boleh dipergunakan untuk bersuci. Kedua: Jika air masih tetap dalam keadaan suci dan mensucikan, dimana salah satu dari ketiga sifatnya (rasa, warna, dan bau) itu tidak ada yang berubah. Pada keadaan seperti ini, air tetap suci dan mensucikan. Dalil yang menjadi landasan adalah hadits dari Abu Hurairah ra. di mana ia menceritakan :

قام أعْربيّ فبال فى المسجدِ فتناولهُ النّاسُ فقال لهم النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم دعوهُ وهريقُوا على بَوْلِهِ سجْدًا من ماءٍ أوذنوبًا من ماءٍ فإنّما بُعِثْتُمْ مسيِّرِينَ ولمْ  تبعثُوا معسِّرِينَ

“Ada seorang Badui yang kencing di masjid. Lalu para sahabat berdiri menghampiri Badui tersebut untuk memarahinya. Akan tetapi, Nabi melarang para sahabat dengan berkata: Biarkanlah ia, dan siramlah air kencingnya itu dengan satu ember atau satu geribah. Karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan bukan untuk mempersulit.” (HR. Muslim)

Juga hadits dari Abu Sa’id Al- Khudri ra. dia berkata:

قيل يا رسولَ الله أنتوضّأُ من بئرِ بضاعةَ؟ فقال رسول الله إنّ الماءَ طهُورٌ لا يُنجِّسهُ شيئٌ

“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah kita akan berwudhu dengan air sumur Bidha’ah (salah satu sumur yang ada di kota Madinah yang biasa digunakan untuk membuang kain bekas pembalut wanita, daging anjing serta kotoran-kotoran lain, ed)? Beliau menjawab: Air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, Asy-Syafi’i, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi)

Mengenai hadits ini, Imam At-Tirmidzi mengatakan berstatus hasan.  Sedangkan Imam Ahmad mengatakan, bahwa hadits mengenai sumur Bidha’ah ini berstatus shahih dan dishahikan oleh Yahya bin Ma’in serta Abu Muhammad bin Hazm.

 

7.      Air yang Jumlahnya Mencapai Dua Kullah

Ada hadits dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

إذا كان الماءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَث

“Apabila jumlah air itumencapai jumlah dua kullah[1], maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis).” (HR. Al-Kamsah)

Sanad dan matan hadits ini berstatus mudhtharib (kontradiksi, diragukan). Dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya, Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Yang menjadi landasan dari pendapat Imam Asy-Syafi’i mengenai hadits dua kullah ini merupakan pendapat yang lemah dari sisi teori dan tidak permanen dari sisi atsar. Kemudian Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah telah menetapkan air yang tidak menjadi najis karena terkena atau tercampur benda najis, yaitu selama tidak berubah sifatnya sebanyak dua kullah atau lima geribah.”

Sementara para sahabat beliau menafsirkannya dengan lima ratus rithl (1 rithl= 2,564 gram).

Sedangkan penganut madzhab Hanafi menetapkan dua kullah itu sama dengan tempat air yang besar yang satu sisinya tidak

 

8.      Air yang Tidak Diketahui Kedudukannya



[1] Satu kullah= 160,5 liter. Lihat Mu’jam Lughati Al-Fuqaha. hal. 368.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar